Selasa, 05 April 2011

POHON MANGGAKU TETAPLAH HIDUP

Angin sepoi berhembus, daun mangga bergoyang dengan alunan suara angin di musim pancaroba yang sangat dingin menusuk. Aku duduk di teras sambil mendengarkan MP3 dari hpnexcom hitamku. Ku alunkan lagu last cild diary depresiku yang bernada klasik dan menyayat hati. Ku perhatikan setiap gerak berada di bawah pohon itu, pohon mangga yang menyimpan sejuta kenanganku bersama orang-orang yang ku sayangi. Suara daun yang saling bergesekan sungguh merdu terdengar dan membuatku seakan bernostalgia dengannya, mengingat kenangan masa kecilku yang bahagia dan tak mungkin ada seorangpun yang tau selain hatiku.
“aku ingin memanjatmu pohon dan memetik buah-buahmu yang ranum seperti dulu bersama teman-teman yang sangat ku rindukan” pikirku dalam lamunan.
Tapi pikiran itu tidak mungkin dapat aku wujudkan untuk sekarang ini, karena sekarang musim buah srikaya bukan buah mangga yang aku inginkan.
Anatominya memang sudah berubah, tak seelok dulu, namun tempatnya tak burubah yaitu 1,5 meter dari pagar beton yang gagah bercat putih yang sudah agak pudar warnanya. Ku dengar gelak tawa anak-anak itu, ku perhatikan sejenak, mereka sedang main petak umpet. Terdengar olehku nyanyian turun-temurun yang sudah tak asing lagi bagiku, nyanyian ketika yang jaga tak berani meninggalkan tempatnya.
“ di endoki pitu likur di gusak mabor-mabor,”
Aku tersenyum kecil, ku sandarkan tubuhku di atas kursi, ku kenang hari-hari saat aku masih seperti mereka, maen petak umpet, kejar-kejaran, sepak bola, dll. Dulu aku memang sangat nakal, karena masa itulah aku menjadi orang keras sekeras batu seperti sekarang.
****
“ da jaga da,” teriak andhika.
“ iya, iya ndi!!!!” jawabku jutek.
Malam itu selepas ngaji aku dan teman-teman memutuskan utuk “obak sodor” di depan masjid di bawah pohon mangga ini, dan setelah adzan isya’ di kumandangkan, kami menyudahi permainan kami. Bukannya ngambil air wudhu, aku malah memanjat pohon mangga dan memetik satu buah mangga.
“ Ndi aku dapat mangga matang.” Teriakku kebawah sambil menunjukannya ke andhika yang sudah bersiap menangkap buah mangga yang akan ku jatuhkan. Setelah ku jatuhkan aku pun turun. Masih berada di ranting pohon yang paling bawah aku duduk dan mengeluarkan silet dari saku celanaku.
“ mana mangganya ndi, siniin,” ucapku
“ ini da,” jawabnya sambil menyodorkan mangganya.
Ku kupas lalu aku bagi kecil-kecil, rasanya begitu nikmat. Sangat berbeda jika aku ambil buah mangga dari kebun mbahku dan ku makan sendiri. Setelah selesai makan mangga yang ku petik tadi kamipun sholat isya’ dan pulang ke rumah msing-masing.
****
Suatu siang setelah pulang sekolah ku dapati pohon mangga itu tinggal batang yang beranting pendek sebanyak empat tangkai dan menjulur ke arah empat mata angin. Ingin rasanya aku menangis tapi andhika menepun pundakku.
“ tenang da gag bakalan mati kok,” ujarnya.
“ kok bisa?” tanyaku agak tak yakin.
“ memang daunnya sudah tidak ada, namun seluruh sitemnya masih tetap berjalan dan berlangsung, kalau tidak ada daunnya kan masih ada akar yang menggantikannya sementara dengan memasok garam dan sumber makanan dari tanah. Dan pada waktunya daunnya akan tumbuh kembali” terangnya panjang lebar.
Aku yang baru kelas 6 SD pun melongo di buatnya karena sedikit tak mengerti dalam pikiranku adalah kalau tidak ada daun ya mati karena tidak bisa fotosintesis.
“ dari mana kamu tau semua itu ndi?” tanyaku polos sembari menatap matanya, mata yang sedang bingung.
“ makanya naik kelas dong seumur-umur kelas 6 terus,” jawabnya sambil memencet hidungku dan dia berlari.
“awas ya,” teriakku sambil berdiri dan mengejarnya.
Karena capek akupun duduk di depan tempat wudhu, lalu dia menghampiriku, aku mengabaikannya. Dia menarik perhatianku dengan naik keatas pohon mangga dan memainkan matanya.
“dika turun,” teriakku
Akupun berdiri dan menghampirinya lalu menyeretnya turun hingga terjatuh.
“ aduh da...da... sakit tauk!” keluhnya
“ ntar kalau enggak hidup gimana ndi? Aku enggak punya tempat teriak-teriak nue?” kataku sambil membenamkan wajah ke tubuhku dan melingkarkan kedua tanganku ke kakiku.
“ udah dong da, masak pohon mangga ini segitu berartinya buat kamu,” ujarnya sambil mengelus-elus pundakku.
“ kamu enggak tau betapa berartinya pohon mangga ini buatku,” bentakku
“iya..iya percaya dech sama aku. Masa sih da guruku bohong, tak terangin lagi ya,”
”iya!” jawabku singkat.
“ pohon berumur panjang seperti pohon mangga yang yang kamu cintai ini, tidak akan mati meskipun daun-daunnya di pangkas habis, karena akar dan organ-organ penting lainnya seperti kambium, pembuluh xilem maupun floemnya masih berfungsi dengan baik, faham?”
“ iya pak guru paham,” jawabku sambil nyengisr
“ kok pak guru sich da?”
“gayanem kan wes koyo pak guru, wkwkwkwkk,”
“ da, sekarangkan udah gag bisa metik mangga lagi tu, gimana kalau kita nyari ikan?”
“ gag mau ah malez,”jawabku ketus.
“ ya udah ku tak plang dulu, ntar sore balapan ya,”
“ iya,”
Andhika pun berlalu di balik pagar masjid, akupun kembali terdiam di bawah teriknya matahari. Kini tak ada lagi tempat curhatku, tak ada lagi pelindung saat aku tersengat panasnya sang surya, kini tak akan ada lagi hembusan angin sepoi. Yang ada hanyalah tanah yang terlihat tandus, gersang terbias cahaya mentari yang bersinar dengan teriknya. Terlihat sangat panas, seakan kaki tak berani menginjaknya tanpa sendal. Walaupun aku sadar semua tak sama dengan apa yang di lihat. Adzan dhuhurpun telah berkumandang, aku pulang dengan tas dan sepatu di punggung meninggalkan tempat kenanganku yang seakan mati.
****
Seminggu kemudian, saat sholat subuh di masjid, aku melihat sudah mulai muncul tunas-tunas daun yang berwarna oranye kehijauan dan nampak begitu segar. Hatiku teramat gembira melihatnya.
“ hidupkan.” Kata andhika.
“ iya, tapi kapn gedenya?,” jawabku
“ sabar to, ayok sholat!”
Setelah sholat aku dan teman-teman yang lain mengaji sampai jam setengah enam. Aku keluar masjid dengan perasaan gembira dan langsung memanjat pohon mangga. Ku perhatikan andhika yang sedang mencari anggur di depan rumah mas aris lucu sekali melompat-lompat karena tidak sampai.
****
Hari demi hari berganti,pohon manggapun bertambah tinggi dan daunnya semakin lebat. Aku duduk di serambi masjid sambil mengamati pohon manggaku.
“ terima kasih Ya ALLAH telah Kau hidupkan kembali pohon mangga sahabatku,” ucap syukurku dalam hati.
Lalu aku memanjat pohon itu dan duduk di ranting teratas.
“ makasih ya pohon udah mau hidup, masjidku gersang tanpamu.” Ku cium ranting pohon itu.
“ woy da jog stres,” teriak anak-anak dari bawah diiringi gelak tawa mereka.
“ ugag coy,” jawabku sambil tertawa.
Aku pun turun di sambut Andhika yang menyusulku.
“benarkan da, akan lebih indah setelah di pangkas,” ujarnya.
“ iya deh percaya.” Jawabku sambil tersenyum kecil.
Aku dan andhika pun keluar lingkungan masjid, di jalan depan rumahku. Aku duduk di barengi Andhika. Ku sandarkan kepalaku di bahunya.
“ makasih ya dhika, tanpamu mungkin dulu aku benar-benar menangis,” kataku sambil menatap langit.
“ sama-sama da, aku janji akan selalu da buat kamu, sebagai sahabatmu,”
Akupun tersenyum sambil menangkat jari kelingkingku.
“ janji,” kataku.
“ ya , aku janji,” acapnya dan menyambut jari kelinkingku.
Aku tersenyum serasa bahuku di goyang-goyang.
“ Da.. da.. bangun,” panggil ibuk.
“ iya buk,” jawabku sambil membuka mata dan bangun dari sandaranku.
‘ surup jog turu dok teras,” ujar Beliau.
“ iya ibukku yang manis,” jawabku sekali lagi.
Ibu hanya tersenyum dan meninggalkanku masuk kedalam rumah. Aku pun berdiri, ku tatap sebentar pohon mangga sahabatku.
“ sekali lagi terimakasih telah bertahan hidup sampai sekarang,” ujarku
Ku lontarkan sun jauh kearahnya.
“ i love you, jaga semua ceritaku,”
Akupun masuk kerumah mengambil mukena dan berangkat ke masjid.

0 komentar:

Posting Komentar